Tetapi pikiran saya melayang, melayang memikirkan satu soal-soal W a n i t a. Kemerdekaan! Bilakah Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan! Tetapi, ya kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan yang di kehendaki oleh pergerakan feminismekah, yang hendak, menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki?. Kemerdekaan ala Kartini? Kemerdekaan ala Chalidah Hanum? Kemerdekaan ala Kollontay?[Sarinah, hlm. 8]
Sesungguhnya kita harus belajar insaf, bahwa soal masyarakat dan Negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan lakilaki. Dan soal perempuan adalah suatu soal masyarakat dan negara.
[Sarinah, hlm. 14]
Dan kemanusiaan akan terus pincang, selama saf yang sstu menindas saf yang lain. Harmoni hanya dapat tercapai, kalau tidak ada saf satu di atas yang lain, tetapi dua "saf" itu sama derajat, berjajar yang satu dengan yang lain, yang satu memperkuat yang lain. Tetapi masingmasing menurut kodratnya Beograd.
[Sarinah, hlm. 15]
Kaum laki-laki marilah kita memikirkan soal ini. Dan marilah kita ikut memikirkan soal perempuan sebab di dalam masyarakat sekarang ini, saya melihat bahwa kadang-kadang kaum laki-laki terlalu main Yang Dipertuan di atas soal-soal yang mengenai perempuan.
[Sarinah, hlm. 14]
Tiada masyarakat manusia satupun dapat berkemajuan, kalau lakiperempuan yang satu tidak membawa yang lain, karenanya janganlah masyarakat laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju subur, kalau tidak dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula.
[Sarinah, hlm. 17]
Janganlah laki-laki mengira, bahwa bisa ditanam suatu kultur yang sewajar-wajarnya kultur, kalau perempuan dihinakan di dalam kultur itu.
[Sarinah, hlm. 17]
Atau benar pula perkataan Baba O´llah, yang menulis bahwa: "laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya se-ekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai kepuncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali."
[Sarinah, hlm. 17/18]
Sungguh benar perkataan Charles Fourier kalau ia mengatakan: "bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan di dalam masyarakat itu".
[Sarinah, hlm. 17]
Manakala patriarchat sekarang ini membawa ketidak adilan masyarakat kepada kaum perempuan, maka Matriarchat membawa ketidakadilan masyarakat kepada kaum laki-laki. Masyarakat tidak terdiri dari kaum laki-laki saja, dan tidak pula dari kaum perempuan saja. Masyarakat adalah terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan, dari kaum perempuan dan kaum laki-laki. Tak sehatlah masyarakat itu, manakala salah satu pihak menindas kepada yang lain, tak peduli fihak mana yang menindas dan tak peduli fihak mana yang tertindas. Masyarakat itu hanyalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan yang sama tengahnya, sama beratnya, sama adlinya.
[Sarinah, hlm. 41]
[Sarinah, hlm. 41]
Saya bukan pecinta matriachat, saya adalah pecinta patriarchat bukan karena saya seorang laki- laki, akan tetapi ialah karena kodrat alam menetapkan patriarchat lebih utama dari Matriarchat. Kodrat menetapkan hukum keturunan lebih selamat dengan hukum perbapaan.
[Sarinah, hlm. 41]
Saya pecinta patriarchat, tetapi hendaklah patriarchat, itu satu patriarchat yang adil, satu patriarchat yang tidak menindas kepada kaum perempuan, satu patriarchat yang tidak mengekses kepada kezaliman laki-laki di atas kaum perempuan. Satu patriarchat yang "parental".
[Sarinah, hlm. 41]
Maha bijaksana Allah dan Nabi yang menetapkan patriarchat sebagai sistem kemasyarakatan yang cocok dengan kodrat alam, tetapi maha piciklah sesuatu orang yang tak mengerti akan "h i k m a h" patriarchat itu, dan lantas membuat agama menjadi satu alat kezaliman dan penindasan.
[Sarinah, hlm. 42]
Laki-laki hanya terjepit sebagai machluk-sosial saja di dalam masyarakat sekarang ini, tetapi perempuan aadalah terjepit sebagai machluk sosial dan sebagai machluk per-seksean.
[Sarinah, hlm. 24/25]
Bagaimanakan masyarakat yang tuan cita-citakan? Saya menjawab: "di dalam masyarakat yang saya cita- citakan itu tiap-tiap orang laki-laki bisa mendapat isteri, tiap-tiap orang perempuan bisa mendapat suami. Ini kedengarannya mentah sekali, tuan barangkali akan tertawa, atau mengangkat pundak, tetapi renungkanlah hal itu sebentar dengan mengingat keterangan saya di atas tadi, dan kemudian katakanlah, apa saya tidak benar? di dalam masyarakat yang "struggle for life" tidak seberat sekarang ini, dan di mana pernikahan selalu mungkin, niscaya "persundalan" boleh dikatakan lenyap, prostitusi menjadi luar biasa dan bukan suatu kanker sosial yang permanent yang banyak-korbannya.
[Sarinah, hlm. 23/24]
Soal perempuan bukanlah soal buat perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh soal masyarakat dan Negara yang amat penting.
[Sarinah, hlm. 15]
Sejarah perempuan adalah bergandengan dengan laki-laki, soal perempuan tak dapat dipisahkan dari soal laki-laki.
[Sarinah, hlm. 40]
Bukan lagi "kepribadiannya" wanita yang kini menentukan hidupnya, tetapi kecantikannya, kejelitaan, "sex-appealnya". Keelokannya itu kini menjadi senjata ekonomi, fungsi kelaminnya itu menjadi fungsi ekonomi.
[Sarinah, hlm. 67]
Tiga sifat/hal yang dituntut dari seorang wanita yang sejati lalah: ya ibu, ya isteri, ya kawan seperjuangan (kawan hidup di dalam masyarakat). Jikalau wanita bisa mengumpulkan tiga hal ini, baru dapat disebut wanita sempurna.
[Pidato Hari Ibu 22 Desember 1960]
Wanita itu, seperti kata pemimpin wanita Henriete Roland Holst van der Schalk: "Wanita itu seperti seekor keledai yang menarik dua kereta". Bebannya dua, bukan satu. Beban di masyarakat, dan beban di rumah tangga. Wanita tidak bisa menjadi manusia masyarakat saja. Wanitapun ingin menjadi manusia rumah- tangga, ingin menjadi manusia ibu, ingin menjadi manusia-isteri."
[Pidato Hari Ibu 22 Desember 1960]
Wahai wanita Indonesia, buat engkaulah kitabku, buat engkaulah aku goyangkan pena, kadang-kadang di bawah sinar lilin sampai jauh di waktu malam! Sadarlah, bangunlah, bangkitlah, berjuanglah menurut petunjuk-petunjuk yang kuberikan itu. Berjuanglah, bangkitlah sehebat-hebatnya, sebagai tadipun telah kukatakan, "tiada orang lain dapat menolong wanita, melainkan wanita Beograd."
[Sarinah, hlm. 326]
Janganlah tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, jangan juga terikat oleh rasa konservatif atau rasa sempit, tetapi cocokkanlah semua barang dengan kodratnya. Inilah kata perakataan Ki Hadjar Dewantara.
[Sarinah, hlm. 4]
Orang Inggeris ada mempunyai syair yang bunyinya: Man works from rise to set-of sun. Woman's work is never done. Laki-laki kerja dari matahari terbit sampai terbenam. Perempuan kerja tiada hentinya siang dan malam. Ini syair adalah jitu sekali buat menggambarkan beban perempuan itu.
[Sarinah, hlm. 77]
Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang ! Sekarang ikutlah, serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik dan nanti jika Republik sudah selamat, ikutlah serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional.
[Sarinah, hlm. 328]
Janganlah ketinggalan dalam Revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan-sosial dan kesejahteraan-sosial. di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang Merdeka!.
[Sarinah, hlm. 329]