Info Terbaru

Hakikat dan Tujuan Pendidikan dan Kesalahan Sistem Dalam Pendidikan>> Blog Berbagi

BLOG BERBAGI - Mungkin kita telah bosan mendengar kata yang satu ini “pendidikan”, karena terlalu seringnya kita mendengar bahkan ditanyakan tentang persoalan yang satu ini. Apatahlagi, notabenenya kita memang bergelut dalam dunia tersebut dan entah telah berproses berapa tahun didalamnya. Tetapi, tunggu dulu! Kata “pendidikan” mungkin memang sangat sederhana namun bisa jadi, kita sendiri sampai pada hari ini ternyata belum paham akan hakiat pendidikan itu sendiri. 

Kita pasti sangat sepakat bahwasanya pendidikan adalah dunia yang sangat penting dalam kehidupan kita. Saking pentingnya, telah banyak para pakar memberikan definisi pendidikan yang berbeda-beda. Namun patut disadari juga bahwa proses pendidikan hari ini tak seindah yang kita bayangkan. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai macam permasalahan dalam dunia pendidikan yang ketika kita urai satu per satu, mungkin saja kita akan merasa utopis (putus asa) mencari solusi penyelesaiannya. Apalagi ketika kita berbicara tentang permasalahan dunia pendidikan di Indonesia.

Hakikat Pendidikan

Untuk memahami lebih jauh tentang haikat pendidikan maka kita dapat meninjau dari beberapa definisi pendidikan itu sendiri. Dalam bahasa Yunani pendidikan adalah pedagogik, yaitu : ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Seiring dengan beberapa definisi diatas, beberapa tokoh pendidikan dunia telah memberikan pemikiran tentang hakikat pendidikan. Imam Al ghazali mengatakan bahwa hakikat pendidikan adalah media/wadah untuk mendekatkan diri pada-Nya demi meraih keselamatan dunia dan akhirat. Nouwen, Paulo Freire (tokoh pendidik Amerika Latin) memandang pendidikan sebagai suatu aktivitas yang harus menumbuhkan rasa cinta terhadap dunia dan sesama, kerendahan hati, keyakinan, pengharapan dan pemikiran kritis di dalam hati setiap orang yang terlibat di dalamnya. Atau dengan kata lain bahwa pendidikan mestilah menjadi proses untuk memanusiakan manusia.

Sehingga dari beberapa pemikiran diatas, kita akan sepakat bahwa hakikat pendidikan adalah media untuk memanusiakan manusia. Dimana proses yang dimakasud adalah bagaimana menggiring manusia dalam proses pencarian ilmu pengetahuan untuk bergerak dari ketidaktahuan menjadi paham dan yakin akan sesuatu yang ditelaah/dipelajarinya, mengembangakan potensi lahiriah dan spiritual manusia sehingga yang tercipta dari proses pendidikan tersebut adalah manusia yang mampu mengembangkan potensi diri menjadi insan yang cerdas intelegensi dan spiritualnya yang mampu menghasilkan (Produktif) bukan hanya mampu memakai/menghabiskan (Konsumtif), membimbing akhlak manusia menjadi insan yang mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuannnya untuk kemaslahatan/keselamatan pribadi dan ummat lainnya.

Tujuan Pendidikan Nasional

Terkhusus di negara Indonesia, negara kita memiliki kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memberikan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai bentuk pengejawantahan nilai UUD 1945 yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 paragraf ke-4 ….Ikut mencerdaskan kehidupan bangsa…

Oleh karena itu, negara kita memiliki perangkat hukum sistem pendidikan nasional untuk merealisasikan/melaksanakan kewajiban negara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. dimana perangkat hukum yang dimaksud adalah Undang-Undang Sisitem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS NO.20 Tahun 2003).

Dalam UU SISDIKNAS NO.20 Tahun 2003 termaktub dengan jelas, fungsi dan tujuan pendidikan nasional pada Bab II, pasal 3 yang berbunyi pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar manusia menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Benarkah tujuan luhur pendidikan nasional ini dapat terwujud?

Hal yang sangat membingungngkan tentunya ketika membandingkan antara upaya perealisasian tujuan pendidikan nasional dengan realitas proses pendidikan dinegara kita hari ini. Karena ternyata proses pendidikan hari ini justru mereduksi (mengikis) tujuan pendidikan itu sendiri.

Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Ada beberapa point penting yang menyebabkan reduksi tujuan tersebut.

1. Terdapat ambiguitas (pemaknaan ganda) dan nilai kontradiktif (berlawanan arah) dalam tubuh UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003, yang mengakibatkan ketidakjelasan arah pelaksanaan pendidikan. Ambiguitas makna ini dapat ditinjau dari adanya pasal yang mengatur tentang upaya perealisasian tujuan pendikan dengan memberikan pelayanan pendidikan murah kepada rakyat, sementara disisi lain juga terdapat pasal yang melegalkan upaya liberalisasi pendikan oleh Negara yang tentunya liberalisasi pendidikan tersebut meniscayakan ekslusifitas dan mahalnya biaya pendidikan.

Bagaimana bisa kita akan mencapai satu tujuan, sedangkan system yang dipakai memiliki 2 arah yang saling kontradiktif/berlawanan arah?

Hal ini dibuktikan dengan adanya kontradiksi beberapa pasal dalam UU SISDIKNAS sebagai contoh; adanya pasal yang lebih mempertegas kewajiban Negara untuk memberikan sumbangsih 20% dana penyelenggaraan pendidikan dari APBN dan APBD diluar dari biaya gaji tenaga pengajar, honorer, pegawai dan biaya pendidikan kedinasan, (Bab XIII, Pendanaan Pendidikan, Bagian keempat tentang Pengalokasian dana pendidikan, pasal 49 ayat 1, UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003). Pasal ini tentunya dianggap sebagai kekuatan positif dalam mewujudkan pelayanan pendidikan murah bagi seluruh rakyat sesuai dengan arah pendidikan berbasis kerakyatan.

Namun yang membuat kita akan bingung karena ternyata disisi lain terdapat pasal-pasal yang akan melegalkan terjadinya Liberalisasi dunia pendidikan (upaya pelepasan tangung jawab Negara untuk memberikan sumbangasih/subsidi pendidikan dengan dalih memberikan kewenangan/kemandirian kepada satuan pendidikan formal (mulai pendidikan tingkat dasar sampai pendidikan tinggi/perguruan tinggi) yang dibentuk oleh pemerintah (negeri) dan masyarakat (swasta) untuk mencari sumber pendanaan sendiri; bertumpu pada pihak swasta, Negara asing, donatur, perusahaan, dan dana dari masyarakat langsung. Maka jadilah dunia pendidikan layaknya industri/pabrik dimana pemilik dan penentu kebijakan tergantung pada siapa yang memiliki sumbangsih/saham terbesar dalam industri tersebut. Dan kita dengan jelas bisa membayangkan, apa yang akan terjadi ketika penyelengaaran pendidikan mesti bertumpu pada pembiayaan yang ditanggung oleh masyarakat. Jadilah pendidikan kita menjadi pendidikan yang sangat mahal. Dan berikutntya pendidikan dinegara kita akan bersifat ekslusif karena semua masyarakat tentunya tak akan memiliki kemampuan yang sama dalam memenuhi biaya penyelenggaraan pendidikan suatu institusi. Maka, jangan heran ketika di Indonesia kita akan sangat sering mendengar; kalau mau sekolah berkualitas bagus, yah mesti mahal…!!!, Orang miskin dilarang sekolah! Kalau kondisi seperti ini, maka jadilah pendidikan kita layaknya barang dagangan, semakin mahal barangnya, semakin bagus kualitasnya, meski tidak semua yang mahal itu akan bagus kualitasnya dan sesuatu yang bagus kualitasnya tidak mesti mahal harganya.

Gambaran diatas merupakan lukisan garis besar makna UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003, Bab XIV bagian kedua tentang Badan Hukum Pendidikan, Pasal 53 ayat 1,2,3, dan 4. Dalam ayat 1 termaktub dengan jelas “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”.

Jika kita mengkaji lebih dalam, Badan Hukum Pendidikan tentunya akan menjadi perangkat hukum yang akan melegalkan terjadinya liberalisasi pendidikan dinegara kita.

2. Tidak jelasnya perangkat operasional/petunjuk pelaksanaan pendidikan secara menyeluruh diseluruh tingkatan satuan pendidikan formal dari tingkatan dasar sampai pendidikan tinggi. Sebut saja contoh pada Peraturan Pemerintah No.60 (PP No.60) yang masih terdapat banyak kerancuan didalamya. Terlebih lagi, ketidakjelasan system kurikulum pendidikan dinegara kita yang mengakibatkan pengkaburan arah pendidikan dan kerancuan pola pengajaran di seluruh tingkatan pendidikan. Sebagai buktinya, kita dapat meninjau pasca beralihnya kurikulum CBSA berganti ke kurikulum 2004 kemudian berganti dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang melalui fase percobaan 2 tahun tanpa penetapan sah secara hukum secara tiba-tiba berganti dengan kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sampai hari ini belum jelas arahnya akan kemana. Kerancuan yang paling nyata terjadi dari system kurikulum kita hari ini adalah tidak adanya nilai standarisasi keberhasilan yang jelas pada pelaksanaan tiap system kurikulum. Maka tak heran ketika Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang mesti secara tiba-tiba berganti setelah masa percobaan 2 tahun dan belum ditetapkan secara hukum sedangkan belm diketahui apakah kurikulum ini telah mencapai titik keberhasilan ataukah tidak.

Noda Hitam Dalam Dunia Pendidikan Kita

Berbagai masalah memang tak nampak pada permukaan dunia pendidikan kita. Namun ketika kita mengkaji lebih jauh maka masalah yang sebenarnya akan terlihat dan tak sesederhana apa yang telah kita lewati hari ini. Kita akan mencoba melihat beberapa persoalan yang mungkin tanpa kita sadari kita sendiri telah melakukan, membiarkan bahkan menjadi korban kesalahan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita.

Masalah yang pertama adalah proses pendidikan kita hari ini berproses layaknya “pabrik” yang hanya akan menghasilkan “barang-barang siap pakai”. Barang siap pakai yang dimaksud adalah manusia yang dihasilkan untuk bekerja layaknya robot yang siap dipakai untuk kebutuhan persaingan industri dan teknologi. Hal ini tentunya sejalan dengan konsep pendidikan kapitalisme Adam Smith yang mencoba mereduksi konsep akademia Plato. Plato telah membentuk konsep akademia sebagai tempat pendidikan untuk pencerdasan manusia sehingga manusia akan lebih produktif dalam hal pemikiran dan berkarya. Namun oleh Adam Smith, konsep academia itu direduksi menjadi konsep “Almamater/universitas” untuk menjadi Mega-pabrik yang menghasilkan produk siap pakai untuk bekerja pada pemodal dengan melihat peluang pasar global yang sangat besar. Jadi jangan terlalu bangga menjadi bagian almamater/unversitas, karena bias jadi anda adalah produk kapitalisme yang di produksi oleh universitas anda sendiri.

Masalah yang kedua adalah kultur pendidikan formal dinegara kita diarahkan pada perwujudan pola hubungan subjek dan objek (pelaku dan sasaran). Dan tentunya dalam pola hubungan ini guru/dosen/pengajar akan diposisikan sebagai Subjek (Pelaku) dan Siswa/Mahasiswa akan diposisikan sebagai (objek). Sehinggga hubungan yang terjadi adalah hubungan antara orang yang dianggap paling tahu (guru) dengan orang yang dianggap tidak tahu apa-apa (siswa). Atau dengan kata lain ini adalah system pendidikan top-down, kalau menurut istilah Paulo Freire ini adalah Gaya Bank. Dimana otak murid dianggap sebagai safe deposit bank (tempat menyimpan). Sisitem pendidikan ini tentunya sangatlah tidak membebaskan karena murid akan diperlakukan layaknya orang yang tak tahu apa-apa dan guru akan berposisi sebagai pengajar yang siap mengisi otak mereka dengan pola instruktif guru kepada murid untuk menghafal secara mekanistik apa-apa yang dipelajarinya. Proses ini lebih lanjut dapat dikatakan sebagai proses penyimpanan ilmu pengetahuan guru kedalam otak murid dan tentu saja sewaktu-waktu dapat diambil begitu saja. Murid hanya berfungsi sebagai penampung apa yang disampaikan dan diinstruksikan oleh guru. Maka jangan heran ketika dinegara kita justru lebih banyak lahir para penciplak-penciplak handal yang tak mampu berkreasi sendiri untuk menciptakan hal-hal yang baru.

Masalah yang ketiga adalah transformasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam proses pendidikan kita lebih mengutamakan pada transfer ilmu pengetahuan asing yang kemudian ditelan mentah-mentah tanpa adanya filterisasi tentang kesejatian budaya, identitas dan ilmu pengetahuan dinegara kita sendiri. Kita lebih mengutamakan sah atau tidaknya suatau ilmu pengetahuan ketika mengambil referensi yang lebih berbau Barat tanpa ada proses penerjemahan dan pengkajian lebih jauh tentang muatan ideology yang terkandung dalam transformasi ilmu pengetahuan tersebut. Dan tanpa kita sadari ternyata bias saja kita telah menelan mentah-mentah rancun kapitalisme yang dimasukkan melalui ilmu pengetahuan yang kita pelajari. Maka jangan heran ketika Negara kita hari ini telah melupakan kesejatian budaya dan identitas bangasanya karena yang terjadi adalah bangsa kita sendiri lebih menyukai produk dan identitas yang berbau barat. Jadilah Negara kita sebagian besar “kebarat-baratan” dan sebagian lagi “ketimur-timuran” dan lebih parah lagi ada yang tidak jelas “kebarat-baratan” atau “ketimur-timuran”. Sungguh membingungkan tentunya. Pertnayannya, dimana lagi kesejatian negeri ini?

Bukan itu saja, ternyta dari proses pendidikan seperti ini justru telah menciptakan manusia yang tak lagi kritis dan bersifat apatis melihat segala permaslahan. Jangan heran, ini semua bisa lahir dari proses pendidikan diatas tadi. Dimana kita akan dimasukkan pada kondisi diamana guru akan dianggap orang yang paling tahu segalanya dan apa yang diajarkan adalah “Maha-benar” yang tak terbantahkan apalagi ketika menggunakan refernsi ‘barat” dan jadilah kita sebagai murid yang taunya mengikuti instruksi dan hanya menampung pengetahuan dari guru.

Apa lagi masalah dalam dunia pendidikan kita? Gambaran permasalahan diatas adalah sebagian kecil dari masalah pendidikan kita hari ini. Masih banyak lagi, namun itu belum terungkap secara nyata di depan mata kita. Permasalahan diatas mungkin bias menyadarkan kita bahwa “Memang Benar, Ada Yang Salah Dengan Sistem Pendidikan Kita” . Dan telah menjadi sebuah kewajiban bagi kita untuk menjadikan itu semua sebagai tantangan untuk memperbaiki system pendidikan kita.

Apa Yang Mesti Segera Dilakukan?

“Orang kuat adalah mereka yang berani mengayuh sampannnya di tengah besarnya gelombang, bukan mereka yang duduk di tepi pantai dan menunggu sampai gelombang laut surut”.

Orang yang bijak dalam menjalani hidup, adalah mereka yang senantiasa melihat permasalahan kemudian berfikir dan berani bertindak untuk menyelesaikan masalah (kritis). Bukan justru melihat masalah dan bersikap seolah-olah tak tahu masalah bahakan lari meninggalkan masalah (apatis). Begitu juga dengan permaslahan pendidikan. Kita mestinya berbuat yang terbaik, guna menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Bukan justru meninggalkannya begitu saja bahkan tanpa sadar menjadi pelaku kesalahan ataukah justru menjadi korban.

Melihat permasalahan sistem pendidikan hari ini, ada beberapa hal yang bias kita lakukan segera.

Yang pertama, segera memperbaiki tatanan reguulasi system/aturan hukum tentang sistem pendidikan sehingga arah dan tujuan pendidikan menjadi jelas.

Yang kedua, lebih mempertegas kewajiban Negara dalam regulasi pendidikan untuk memberikan biaya/subsidi pendidikan sehingga akan membantu proses pendidikan yang murah dan terjangakau oleh seluruh masyarakat. Sehingga, dunia pendidikan tidak lagi bersifat ekslusif dimana hanya orang-orang berduit yang mampu mengecap pendidikan yang berkualitas.

Yang ketiga, mengarahkan pola pendidikan yang mengarahkan pada penciptaan kultur humanisasi (memanusiakan manusia) bukan justru mengedepankan proses dehumanisasi (menghilangkan prinsip-prinsip kemanusiaan) dalam transformasi ilmu pengetahuan. Proses ini akan dapat tercapai ketika pola pengajaran dalam pendidikan kita lebih menitikberatkan pada pola interaksi timbal balik dimana antara siswa/pelajar dan guru/pengajar sama-sama berada pada posisi subjek/pelaku pembelajaran. Dengan proses seperti ini, maka akan memungkinkan terciptanya kultur dialogis dalam proses belajar mengajar dan akan lebih mengembangkan daya nalar dan sifat kritis para pelajar. Maka dari proses ini, diharapkan akan lahir manusia-manusia yang produktif baik dalam hal pemikiran ataupun dalam berkarya.

Dan tentunya, masih banyak lagi solusi yang bisa kita lakukan. Yang jelasnya, menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk sama-sama berfikir dan bertindak demi sistem pendidikan yang lebih mencerdaskan bangsa.

Ingat, bahwasanya pendidikan adalah pondasi paling utama untuk memajukan negeri ini. Ketika kita ingin melihat Negara kita lebih maju maka bersiaplah untuk menegakkan sistem pendidikan yang lebih baik.


Anda juga bisa melihat catatan penting dari pendidikan di postingan sebelumnya Sekilas Tentang Pendidikan Dan Sekolah Di Indonesia
...