Info Terbaru

Catatan Admin>> Budaya Kampus Yang Ironis>> Blog Berbagi

BLOG BERBAGI - Kuliah di perguruan tinggi negeri sungguh makan hati. Bukanlah sesuatu yang mustahil bila beberapa teman-teman mahasiswa apalagi yang berlabel lembaga di keningnya, harus berwajah kusam di setiap akhir semester karena kecewa melihat pencapaian akademiknya yang terpampang jelas dalam KHS.

Berbagai analisis pun menerawang dalam kepalanya. Namun, satu yang paling tepat adalah bahwa semua itu berasal dari kesalahannya sendiri. Malas bangun pagi dan jarang masuk kuliah adalah penyebab utama kegagalannya. Belum lagi pakaiannya yang slengean, semakin menambah antipati para pendidik. Jelas sudahlah penyebab semua nilai Error dalam KHSnya.

Hal seperti yang digambarkan di atas sugguh terlihat tak menarik untuk dibahas. Namun, bagaimana bila kesalahan sepenuhnya bukan hanya berasal dari mahasiswa itu sendiri?, bagaimana bila beberapa kegagalan justru merupakan tindak tak tahu diri dan arogansi dosen mata kuliah bersangkutan itu sendiri?. Masihkah ia tak pantas untuk di bahas?.

Merupakan sesuatu yang wajar adanya bila dosen terlambat masuk kelas atau pun sekalian tak masuk memberikan kuliah. Toh! tidak ada KHS yang harus ia terima di akhir semester. Toh! tidak pernah ada mahasiswa yang berani mengkritik apalagi memprotesnya secara lansung. Bukankah Dosen yang memegang stir kendali nilai mahasiswa. “Mana mungkin mereka berani!”. Apalagi, sepertinya mahasiswa justru terlihat bahagia dengan ketidakhadiran dosennya. Mereka mendapat tambahan waktu untuk bersantai ria.
Namun, merupakan sesuatu yang tak dapat ditolerir bila mahasiswa yang terlambat masuk kelas apalagi tak menghadiri pertemuan. Nilai mereka dapat diobrak-abrik dengan mudah. Terlebih jika pakaian mereka slengean saja. Bisa-bisa mereka jadi mahasiswa seumur hidup.

Penulis sering mengorbankan diri tuk mandi di pagi buta hanya karena tak ingin telat menghadiri mata kuliah di pagi hari. Namun, ternyata hasil yang didapatkan adalah nihil. Dosennya tak pernah hadir sepanjang tiga minggu berturut-turut. Karena telah bosan menikmati air dingin dan sering kecewa, penulis akhirnya lebih memilih melanjutkan tidur dibanding maksuk kampus di pagi hari. Bukankah kemungkinan besar dosennya tak hadir lagi minggu ini. Namun, prediksi tetap saja prediksi. Dosennya hadir dan dengan angkuh mengabsenkan sang penulis. Berbekal pengalaman naas tersebut penulis mencoba untuk hadir lagi di minggu berikutnya. Tetapi sekali lagi ia harus dikecewakan oleh ketidakhadiran sang dosen.

Penulis sungguh tak habir pikir, mengapa ia tak pernah berjodoh dengan dosennya?. Apakah ia yang sedang sial ataukah dosennya yang dasarnya memang pemalas. Toh, bila memang dosennya yang pemalas mengapa ia harus menatap nilai Error pada mata kuliah tersebut di KHSnya?.
Sungguh makan hati!.
Padahal jika kita berpikir jernih, Dosen tak bisa semau gue aja di kampus ini. Bukankah mereka menghidupi keluarganya dari mengajar mahasiswa. Bukankah pemerintah menggaji mereka setiap bulan, bukan untuk mengajar di universitas lain alias menjadi dosen terbang. Boro-boro mengurusi mahasiswa tempat ia ditugaskan. “Gajinya dah jelas saya terima setiap bulan kok, tanpa pengurangan apapun. Lebih baik saya mengurusi mahasiswa-mahasiswa swasta, lumayan untuk menambah uang belanja rumah tangga”. Mungkin seperti itulah kata hati para dosen yang kelebihan beban mengajar di luar tempat tugasnya.

Mahasiswa telah begitu setia membayar SPP di setiap akhir semester, toh ternyata hal itu tak berarti bahwa mereka telah mendapat pelayanan layaknya bos seperti saat mereka check in di kamar hotel. Membayar SPP ternyata sama halnya dengan membayar pajak yang tak seimbang dengan hasil pembangunan yang mereka nikmati. Kita telah membayar mereka untuk menjadi bos yang semau gue.

Orang tua telah mengucurkan keringatnya yang kemilau bak berlian, berharap uang belanja yang telah mereka sisihkan setiap harinya untuk melunasi SPP anaknya akan terbalaskan oleh ilmu yang setimbang dengan keringat yang membasuh wajah keriput mereka. Sekalipun asap dapur tak lagi mengepul sesering dulu, bayangan akan masa depan anaknya yang lebih baik telah menyejukkan perut kecil mereka.
Namun, mungkinkah mimpi indahnya dapat tercapai bila para pendidik, tempat mereka mengantungkan segala harapan, tak menjalankan tanggung jawabnya dengan penuh tanggung jawab. Pendidik itu hanya datang se-sekali. Kalau pun hadir biasanya terlambat. Terkadang hanya datang tuk mengabsen, memberikan tugas kemudian pergi. Itukah contoh pendidik yang baik.

Kita masih patut bersyukur sebab tak semua dosen kita berlaku seperti di atas. Namun beberapa yang tak tau diri di antara dosen kita tetap saja perlu untuk tak kita biarkan. Bila selama ini dosen-dosenlah yang mengabsen mahasiswa, mengapa tak kita mulai untuk mengabsen dosen pula. Bila teman-teman mahasiswa mencoba mengabsen dosennya sendiri, mungkin kawan-kawan akan menemukan dosen yang lebih sering terlambat dibanding anda. Mungkin kawan-kawan akan menemukan dosen yang lebih sering absen atau alfa dibanding anda. Anehnya, justru kemungkinan besar mata kuliah bersangkutan itulah yang memberikan nilai yang tak pernah kalian inginkan tertera di KHS kawan-kawan nantinya. Cobalah!!!
....