BLOG BERBAGI - Rektor Universitas ParamadinaMulya Prof Dr Nurcholish Madjid mengatakan, pendidikan adalah kunci untuk mengatasi perpecahan bangsa dan membangun sumber daya manusia (SDM). Sebetulnya, sejak awal tahun 1980-an -- yakni ketika kebutuhan hidup masyarakat mulai mudah diperoleh dibandingkan masa kemerdekaan -- bangsa Indonesia harusnya berani menyatakan sikap secara tegas untuk mulai membangun pendidikan secara terencana. "Mari kita bangun negara ini dengan meningkatkan pembangunan sumber daya manusia," kata Nurcholish kepada Kompas. Ia dimintai pendapatnya tentang pembangunan SDM Indonesia di tengah berbagai isu pergolakan politik, keterpurukan ekonomi, dan kemerosotan moral masyarakat yang bisa menjadi pemicu munculnya perpecahan bangsa.
Nurcholish mengatakan, akibat sampingan dari pergolakan politik yang berkembang dan belum tentu kebenarannya, seperti gerakan demonstrasi turun ke jalan, ujung-ujungnya mengakibatkan proses pendidikan formal menjadi mandek (terhenti). Hal itu merupakan awal dari ancaman hilangnya generasi muda di masa mendatang.
Wacana seputar perlunya bangsa ini mengambil sikap tegas untuk segera membangun SDM lewat penguatan bidang pendidikan, sebelumnya juga sudah diberi catatan khusus oleh mantan Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Prof Dr Sofian Efendi. Dalam pandangan Sofian, terhambatnya peningkatan SDM Indonesia disebabkan oleh tidak terfokusnya arah pembangunan SDM itu sendiri. Indikasi adanya kemandekan itu, antara lain, terlihat dari terganggunya proses regenerasi guru besar di sejumlah perguruan tinggi negeri di Tanah Air, sebagaimana disinyalir oleh Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar, beberapa waktu lalu.
Tentu, lanjut Nurcholish, antisipasi menghadapi ancaman semakin minimnya SDM itu harus melibatkan pemegang kebijakan politik tertinggi, paling tidak pimpinan nasional. Kebijakan itu akan menjadi bagian dari wawasan yang dimiliki para pemimpin dalam menjalankan proses kepemimpinan. "Oleh karena itu, komitmen di tingkat pemimpin sangat dibutuhkan," kata Nurcholish menegaskan.
Menurut Cak Nur panggilan akrab Rektor Universitas ParamadinaMulya ini komitmen tersebut juga membutuhkan perubahan sistem politik secara menyeluruh. Perubahan ini kelak diharapkan menjadi bahan pemikiran bagi lembaga legislatif. Karena itu pula, persoalan ketatanegaraan yang sekarang ada di depan mata juga sangat membutuhkan penyelesaian secara sistemik.
Walaupun belakangan ini sejumlah pengamat mengarahkan pemikirannya masing-masing ke arah kebijakan politik Amerika Serikat, demikian Nurcholish, hal itu merupakan reaksi spontan yang tidak bisa disalahkan. "Yang terpenting, masyarakat jangan lengah bahwa pekerjaan rumah (PR) terbesar bangsa Indonesia adalah menjawab tantangan untuk mampu membangun bangsa ini kembali," katanya.
Ketua Yayasan Wakaf Paramadina ini menambahkan, selama ini kebijakan politik pemerintahan masa lalu cenderung menghasilkan perpecahan bangsa. Akibat kebijakan-kebijakan yang sewenang-wenang itu kini kita semua yang merasakannya.
Ia mengakui, pembangunan fisik yang menunjang peningkatan SDM memang terjadi, baik di perkotaan maupun pedesaan. Hanya saja, demikian Nurcholish, suatu bangsa tidak akan menjadi besar jika sekadar mengandalkan pembangunan fisik. "Bangsa ini harus juga membangun SDM secara arif dan bijaksana," ujarnya.
Nurcholish sangat berharap, di tengah situasi bangsa yang serba tak menentu seperti sekarang sangat diperlukan tampilnya pemuka-pemuka agama yang bersedia menerapkan pola kerja tekun. Pekerja tekun yang ia maksudkan bukan sekadar pola berkorban, seperti penggalangan solidaritas dan mobilisasi massa. Pekerja tekun itu, imbuhnya, tentu diharapkan berasal dari kalangan orang yang berkarakter dan tidak menginginkan publisitas dan popularitas, tetapi selalu produktif memberikan sumbangan kemampuannya dengan menjadi anggota kemanusiaan universal.
Menyangkut dunia pendidikan, para pekerja tekun itu dapat muncul dari kalangan akademisi. "Satu hal yang harus diingat, politik bukanlah satu-satunya sumber gengsi kehidupan," katanya. Bahkan di AS sendiri, tambahnya, ada ungkapan bahwa politisi adalah intelektual kelas dua.
Ia menambahkan, kalangan akademisi ini seharusnya mampu memberikan pengetahuannya masing-masing kepada sesamanya. Semua itu demi membangun kualitas SDM.