Info Terbaru

Ketika Orang Miskin Mencari Alternatif Pendidikan>> Blog Berbagi


BLOG BERBAGI - Di desa Sarimukti di kaki Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat berdiri sebuah Madrasah bernama Madrasah Sururon. Madrasah ini memiliki keajaiban karena dengan segala keterbatasannya, mampu mencetak siswa yang berkesadaran kritis (Kompas, 19/4/2006).

Di Madrasah itu pengajarnya tidak ada yang berakreditasi akademik dengan label sarjana. Fasilitasnya pun sangat minim dibanding sekolah formal pemerintah. Tapi keterbatasan tersebut justru menciptakan suasana belajar yang dinamis. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar.

Apa yang dilihat dan dirasakan semuanya menjadi sumber belajar. Guru hanya menjadi fasilitator, belajar bersama siswa tanpa dibatasi sekat struktural. Semua setara dan toleran. Bahkan dengan tanpa beban, siswa mengkritik gurunya jika ada suatu hal yang mengganjal.

Para siswa yang sebagian anak petani miskin itu juga diajak untuk mengenal lingkungan sekitar dengan bercocok tanam. Selain untuk melestarikan lingkungan, para siswa juga sejak dini diajak untuk membangun kemandirian ekonomi.

Mereka diajak untuk merasakan kehidupan keseharian secara langsung dengan pelibatan diri secara aktif sebagai subjek mandiri dan mampu melakukan perubahan berbasis lingkungan. Pendidikan bukan lagi sesuatu yang kaku dan membosankan tapi menjadi permainan yang menarik dan rekreatif.

Pelibatan diri itu tentu tidak menggunakan pendidikan berbasis tekstual semata. Menurut Boy Fedro salah satu pendiri dan guru Madrasah Sururon, proses pendidikan harus menyelaraskan teks dengan konteks. Adalah sia-sia jika teks teoritis tidak mampu menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah kontekstual.
Meminjam teori konsientisasi pendidikan Paulo Freire (aksi-refleksi) bahwa pendidikan itu adalah aksi aktif dalam menyelesaikan masalah aktual bukan sekedar tumpukan teori.

Mencari Alternatif

Dalam beberapa tahun terakhir, keberadaan sekolah formal semakin menunjukkan kemandulanya dalam mencetak manusia cerdas, kritis, bermoral dan juga pendidikan yang berkeadilan. Kondisi ini memaksa kita, terutama orang miskin, dalam mencari alternatif pendidikan salah satunya dengan Home Schooling.
Home Schooling (sekolah rumahan) banyak bermunculan di sana-sini sebagai kritik terhadap pendidikan formal. kehadirannya diharapkan menjadi alternatif dalam mengatasi masalah pendidikan nasional yang terjebak dalam kubangan formalitas dengan biaya tinggi.

Di sekolah itu, pendidikan bisa dilakukan di mana saja seperti rumah dan tempat lain yang tidak mesti di dalam ruang kelas dan diselenggarakan oleh siapa saja, keluarga misalnya. Namanya saja sekolah rumahan.
Kurikulum formal pun sama sekali tidak berlaku. Tidak ada jadwal baku yang harus diikuti misalnya masuk kelas jam 07.30 pagi pulang jam 13.00 siang. Tidak ada seragam sekolah. Pendidiknya tidak perlu bergelar S1, S2, S3, apalagi Profesor. Belajar diselenggarakan berdasarkan kesepakatan bersama, kapan dan dimana saja.

Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah. Pendidik dan peserta didik berposisi sebagai mitra belajar. Pendidik tidak merasa lebih pintar dan menggurui peserta didik, tapi hanya sebagai fasilitator.
Aspek penghargaan dan tanggung jawab lebih diutamakan dari segalanya. Karena secara psikologis, manusia yang dihargai eksistensinya akan memiliki kepercayaan diri yang akhirnya menumbuhkan kreatifitas individu.

Mantra pendidikan formal: “keberhasilan sebuah pendidikan diukur berdasarkan banyaknya uang dan kemewahan fasilitas” tidak berlaku. Yang berlaku adalah bagaimana memanfaatkan kekayaaan lingkungan sebagai sarana dan prasarana belajar. Yang terpenting adalah terciptanya keterlibatan aktif para pembelajar dengan dunianya dalam suasana dialogis yang saling memberi dan menerima.
Cerdas Sosial dan Nasionalisme

Di kala pendidikan nasional kita dirundung berbagai masalah seperti rendahnya biaya pendidikan, kualitas SDM masih di bawah standar, gedung sekolah rusak, dan meningkatnya jumlah anak putus sekolah yang berimplikasi pada rusaknya sistem sosial kita, pendidikan alternatif mestinya tidak lagi dipandang sebelah mata.

Oleh pemerintah, Pendirian sekolah alternatif harus dipandang sebagai instrumen penting dalam mengatasi masalah pendidikan secara holistik. Hal ini tentu saja menuntut adanya kesetaraan posisi dan perlakukan antara lulusan pendidikan formal dengan lulusan sekolah alternatif terutama kesempatan dalam dunia sosial dan ekonomi.

Sistem pendidikan alternatif juga menyentuh wilayah filosofis yaitu memanusiakan manusia (humanisasi). Bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama dalam mengenyam pendidikan. Yang kaya dengan yang miskin sama saja.

kecerdasan tidak dinilai berdasarkan uang. Tapi kecerdasan dinilai berdasarkan seberapa besar kontribusi manusia dalam menemukan pemecahan masalah hidupnya. Yang dibutuhkan adalah solusi bukan formalitas. Output pendidikan tidak lagi dicetak seragam dengan hanya memiliki kecerdasan akademik tapi lebih pada kecerdasan sosial.

Belajar dari pendahulu kita, mereka sama sekali bukan produk dari sebuah sistem pendidikan formal seperti saat ini. Mereka cerdas berdasarkan pengalaman hidup dengan melibatkan diri dan merasakan langsung pahit-manisnya perjuangan.

Seperti ki Hajar Dewantara yang mendirikan taman siswa. Taman itu adalah semesta. Sekolah mereka adalah sekolah kehidupan dimana atapnya adalah langit, dindingnya adalah hutan dan pegunungan, dan alasnya adalah bumi.

Dengan kondisi seperti itu mereka menjadi pahlawan yang memiliki nasionalisme tinggi, rela berkorban bahkan rela mati demi mempertahankan tanah air dan harga diri sebagai bangsa. Kecintaan akan rakyat tumbuh karena mereka merasakan langsung penderitaan rakyat.

Kontras dengan kondisi saat ini, bertambahnya manusia dengan seabrek gelar justru berbanding lurus dengan tingkat korupsi. Penjarah hutan yang menyebabkan kerusakan ekologi dan pejabat yang menjarah uang rakyat adalah mereka yang sekolahnya tinggi-tinggi. Ini adalah masalah kronis yang membutuhkan terapi segera.

Maka dari itu, dibutuhkan keberanian dan kecerdasan pemerintah kita dalam merekonstruksi pendidikan. Dan nampaknya sekolah alternatif akan menjadi pilihan jangka panjang. 

Oleh: Muhammad Irawan
Dosen di UNM